Senin, 29 Agustus 2016

Keutamaan 10 Hari Awal Bulan Dzulhijjah



Dari Abdullah Ibn Abbas radoyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada hari yang mana amal shalih itu lebih Allah cintai (untuk dikerjakan) di dalamnya, melainkan hari-hari itu adalah 10 hari awal dzulhijjah.” (HR. Bukhari, At Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah)


Amal Shalih Yang Dianjurkan pada 10 Hari Awal Bulan Dzulhijjah

a. Berhaji Bagi Yang Mampu

“Sesungguhnya rumah ibadah yang pertamakali dibangun untuk manusia adalah yang ada di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam semesta. Disana terdapat tanda-tanda yang jelas, diantaranya adalah maqam (tapak kaki) Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Makkah), maka dia aman. Dan diantara kewajiban manusia kepada Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke tanah suci, yaitu bagi siapa yang mampu mengadakan perjalanan kesana. Barangsiapa yang mengingkari kewajiban berhaji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya tidak memerlukan sesuatu apa pun dari alam semesta.” (Ali Imran : 96-97)

b. Banyak Berdzikir Mengingat Allah

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa’at untuk mereka dan supaya mereka berdzikir mengingat Allah pada hari-hari yang telah ditentukan, atas rizki yang Allah berikan kepada mereka berupa hewan ternak.” (Al Hajj : 28)

Abdullah Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma berkata, “Yang dimaksud hari-hari yang telah ditentukan adalah 10 hari awal bulan dzulhijjah.” Kemudian ahli tafsir yang lain menambahkan, “Dan juga hari Tasyriq, yaitu 11, 12, dan 13 dzulhijjah.”

Dzikir mengingat Allah dengan memperbanyak tahlil, takbir dan tahmid.

c. Memakmurkan Masjid

“Barangsiapa yang belum mampu/berkesempatan menuju Ka’bah karena nun jauh, maka hendaklah langkahnya selalu menuju Pemilik Ka’bah, karena sesungguhnya Dia Maha Dekat, lebih dekat daripada urat leher.” (Ibnu Rajab rahimahullah)

“Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan tidak pernah takut kecuali hanya kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka itulah orang-orang yang selalu mendapat petunjuk.” (At Taubah : 18)

d. Memperbanyak Shalat

“Istiqamahlah meski berat dan kalian tidak mampu, dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amalan yang kalian kerjakan adalah shalat, dan tidaklah menjaga wudhu melainkan dia adalah seorang mukmin.” (HR. Baihaqi, Hakim)

e. Puasa
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits qudsi, bahwa Allah berfirman,

“Semua amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Ia untukKu dan Aku yang akan membalasnya." (HR. Bukhari-Muslim)


f. Tilawah Qur’an

“Seorang yang pandai membaca Al Qur’an, maka ia ditemani para malaikat yang mulia lagi berbakti, dan seorang yang membaca Al Qur’an secara terbata-bata karena kesusahan, maka baginya dua pahala.” (HR. Bukhori-Muslim)

“Perumpamaan seorang mu’min yang sentiasa membaca Al Qur’an adalah seperti buah delima yang sedap mewangi dan nikmat rasanya, dan perumpamaan seorang mu’min yang tidak membaca Al Qur’an adalah seperti buah kurma yang tidak memiliki wangi meski rasanya manis.” (HR Bukhori-Muslim)

g. Shadaqah

“Tidak akan pernah berkurang harta yang disedekahkan, dan tidaklah Allah menambahkan sesuatu bagi orang yang memaafkan, melainkan Allah akan menambahkan kemuliaan baginya, dan tidaklah seseorang bersikap tawaddu’ (rendah hati), melainkan Allah pasti mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)

“Siapa yang memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Alah akan melipatgandakan balasannya dan baginya pahala yang mulia.” (Al-Hadild : 11)

h. Qiyamul lail

“Hendaklah kalian membiasakan diri melaksanakan qiyamullail, karena sesungguhnya qiyamullail itu adalah kebiasaan orang-orang sholih terdahulu sebelum kalian, dan qiyamullail merupakan ibadah yang dapat mendekatkan diri kalian kepada Rabb kalian. (HR. At Tirmidzi)

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya. Mereka berdo’a kepada Allah dengan penuh rasa takut dan rasa harap, dan mereka menginfakkan sebagian rizki yang telah Kami berikan kepada mereka. Maka tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka (yaitu berupa nikmat-nikmat) yang dapat menyenangkan hati mereka, sebagai balasan dari apa yang telah mereka kerjakan.” (As Sajdah : 16-17)

i. Berqurban

“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah.” (Al Kautsar : 2)

“Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor kambing kibasy putih yang telah tumbuh tanduknya. Anas berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor kambing tersebut dengan tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher kambing itu. Beliau membaca basmalah dan takbir.” (HR. Bukhari-Muslim)

“Tidaklah pada hari nahr (Idul Adha)  manusia beramal suatu amalan yang lebih dicintai oleh Allah daripada mengalirkan darah dari hewan qurban. Ia akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku, rambut hewan qurban tersebut. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada (ridha) Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi, maka bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban.” (HR. Ibnu Majah)

Mengapa Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhususkan balasan puasa langsung dari-Nya?



Diriwayatkan oleh Bukhari, 1761 dan Muslim, 1946 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alai wa sallam bersabda, "Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya." 
 
Ketika semua amal untuk Allah dan Dia yang akan membalasnya, maka para ulama berbeda pendapat dalam firman-Nya, "Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya." Mengapa puasa dikhususkan? 

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah telah menyebutkan sepuluh alasan dari perkataan para ulama yang menjelasakan makna hadits dan sebab pengkhususan puasa dengan keutamaan ini.
Alasan yang paling kuat adalh sebagai berikut; 

1.      Bahwa puasa tidak terkena riya sebagaimana (amalan) lainnya terkena riya. Al-Qurtuby rahimahullah berkata, "Ketika amalan-amalan yang lain dapat terserang penyakit riya, maka puasa tidak ada yang dapat mengetahui amalan tersebut kecuali Allah, maka Allah sandarkan puasa kepada Diri-Nya. Oleh karena itu dikatakan dalam hadits, ‘Meninggalkan syahwatnya karena diri-Ku.’ Ibnu Al-Jauzi rahimahullah berkata, ‘Semua ibadah terlihat amalannya. Dan sedikit sekali yang selamat dari godaan (yakni terkadang bercampur dengan sedikit riya) berbeda dengan puasa. 

2.      maksud dari ungkapan ‘Aku yang akan membalasnya’, adalah bahwa pengetahuan tentang kadar pahala dan pelipatan kebaikannya hanya Allah yang mengetahuinya. Al-Qurtuby rahimahullah berkata, ‘Artinya bahwa amalan-amalan telah terlihat kadar pahalanya untuk manusia. Bahwa ia akan dilipatgandakan dari sepuluh sampai tujuh ratus kali sampai sekehendak Allah kecuali puasa. Maka Allah sendiri yang akan memberi pahala tanpa batasan. Hal ini dikuatkan dari periwayatan Muslim, 1151 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallalm bersabda: 

( كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ )

"Semua amal Bani Adam akan dilipat gandakan kebaikan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza Wa Jallah berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya."
Yakni Aku akan memberikan pahala yang banyak tanpa menentukan kadarnya. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala, "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10)

3.      Makna ungkapan ‘Puasa untuk-Ku’, maksudnya adalah bahwa dia termasuk ibadah yang paling Aku cintai dan paling mulia di sisi-Ku. Ibnu Abdul Bar berkata, "Cukuplah ungkapan ‘Puasa untuk-Ku’ menunjukkan keutamaannya dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i, 2220 dari Abu Umamah rahdiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Hendaklah kalian berpuasa, karena tidak ada yang menyamainya." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Nasai) 

4.      Penyandaran di sini adalah penyandaran kemuliaan dan keagungan. Sebagaimana diungkapkan ‘Baitullah (rumah Allah)’ meskipun semua rumah milik Allah. Az-Zain bin Munayyir berkata, "Pengkhususan pada teks keumuman seperti ini, tidak dapat difahami melainkan untuk pengagungan dan pemuliaan." 

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Hadits yang agung ini menunjukkan akan keutamaan puasa dari beberapa sisi;

Pertama: Sesungguhnya Allah khususkan puasa untuk diri-Nya dari amalan-amalan lainnya, hal itu karena keutamaannya di sisi-Nya, cintanya padanya dan tampak keikhlasan padanya untuk-Nya Subhanahu. Karena puasa merupakan rahasia seorang hamba dengan Tuhannya, tidak ada yang melihatnya kecuali Allah. karena orang yang berpuasa,  di tempat yang sepi mungkin baginya mengkonsumsi apa yang diharamkan oleh Allah, (akan tetapi) dia tidak mengkonsumsikannya. Karena dia mengetahui punya Tuhan yang melihat di tempat yang sunyi. Dan Dia telah mengharamkan hal itu. Maka dia tinggalkan karena takut akan siksa-Nya serta berharap pahala dari-Nya. Maka, Allah berterimakasih akan keikhlasan ini dengan mengkhususkan puasa untuk diri-Nya dibandingkan amalan-amalan lainnya. 

Oleh karena itu (Allah) berfirman, "Dia meninggalkan syahwat dan makanannya karena diri-Ku"

Keistimewaan ini akan terlihat nanti di hari kiamat sebagaimana yang dikatakan oleh Sofyan bin Uyainah rahimahullah, "Ketika hari kiamat, Allah akan menghisab hamba-Nya. Dan mengembalikan tanggungan dari kezalimannya dari seluruh amalnya. Sampai ketika tidak tersisa kecuali puasa, maka Allah yang akan menanggung sisa kezaliman dan dia dimasukkan surga karena puasanya." 

Kedua: Allah berfirman dalam puasa "Dan Aku yang akan membalasnya." Maka balasannya disandarkan kepada diri-Nya yang Mulia. Karena amalan-amalan saleh akan dilipatgandakan pahalanya dengan bilangan. Satu kebaikan dilipat gandakan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali sampai berlipat-lipat. Sementara puasa, maka Allah sandarkan pahalanya kepada diri-Nya tanpa ada kadar bilangan. Maka Dia Subhanahu adalah zat yang paling dermawan dan paling mulia. Pemberian sesuai dengan apa yang diberikannya. Maka pahala orang puasa sangat besar tanpa batas. Puasa adalah sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari yang diharamkan Allah dan sabar terhadap takdir Allah yang menyakitkan dari lapar, haus dan lemahnya badan serta jiwa. Maka terkumpul di dalamnya tiga macam kesabaran. Maka layak orang puasa termasuk golongan orang-orang sabar. Sementara Allah telah berfirman, "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10) 

(Majalis Syahru Ramadan, Syaikh Muhammad al Munajjed rahimahullah)
Wallahu’alam.

Rabu, 24 Agustus 2016

Durjana Yang Mendapat Petunjuk



Dahulu, aku pernah durjana
Hidup dalam keterasingan, dibenci dan dijauhi oleh banyak orang
Tapi tidak dengan keluargaku, mereka rela menahan malu dan menanggung cibiran
Sering aku melihat airmata berjatuhan dari wajah ibu-bapakku
Mereka tak pernah bosan menasehatiku dan memintaku supaya berubah
Aku sendiri kacau dan bingung, aku tahu, tak seharusnya aku begini

Aku hanya lah anak remaja yang kala itu tidak tahu apa-apa
Inginnya bermain dan keluyuran kesana-kemari, tak tahu waktu dan tempat
Bergaya semaunya dan bergaul seenaknya, tak tahu aturan dan adab
Asal aku bisa bahagia dan bergembira seria-rianya, itu saja
Tapi bodoh, aku lupa, aku tidak sadar, bahwa bahagia dan gembiraku itu justru menjadi pisau yang menyayat hati ibu-bapakku
Aku tidak tahu, entah seperti apa rasa malu itu
Sehingga aku acuh saja, tak mau peduli bagaimana ibu-bapak menanggung rasa malu oleh sebab kenakalanku yang seperti sampah berserakan di masyarakat

Tapi bersyukur satu hal, walau betapa kala itu aku durjana
Alhamdulillah, aku selalu menjaga shalat, inilah yang selalu bapak tekankan kepadaku
Setiapkali aku pulang ke rumah, jumpa dengan bapak, maka yang keluar dari mulut bapak adalah “sudah shalat belum?” bukan “sudah makan belum?”
Aku sempat kesal dan jengkel dengan pertanyaan yang aku anggap konyol kala itu
Lalu tahulah kini, bahwa betapa sayangnya bapak kepadaku, bukan perutku yang jadi prioritas utama perhatian bapak, tetapi agamaku, ya agamaku, tuhanku

Aku tahu bahwa ibu-bapakku tidak pernah berhenti mendoakan kebaikan untukku
Sehingga datang waktu dimana aku bagai ulat yang kemudian menjadi kepompong
Aku digodok habis, masuk penjara suci (pesantren), itulah awal mula aku merasakan panas telinga
Tak henti-hentinya aku mendengarkan celoteh nasihat para ustadz dan guru
Awalnya sumeh, udik, membosankan, tapi lama-lama aku merasa nyaman, ada desir kedamaian merasuk ke hati, jiwaku sejuk, aku merasakan ada Dzat besar yang sedang memperhatikanku
Disitulah aku tahu betapa pentingnya mendengarkan nasihat, sebab disitulah seakan Allah berbisik lembut, “hai hambaKu, waktunya berubah untuk jadi lebih baik.”

Pesantren sedikit demi sedikit membangunkan nilai spiritualitas yang menakjubkan ke dalam jiwaku
Aku merasakan adanya kekuatan besar untuk aku bernaung, bergantung, berharap dan berjuang; Dia lah Allah Ash Shamad
Aku seperti sedang didesain untuk menjadi sosok baru, ibarat besi berkarat yang hendak dimasukkan ke perapian, untuk kemudian menjadi mengkilap, tajam, mematikan

Oh, entah sudah seberapa berkaratnya diri ini?!

Waktu terus berlalu, sampai ahirnya aku bisa melangkah sejauh ini, alhamdulillah
Banyak hal hebat yang aku alami, sungguh ini adalah anugerah istimewa dariNya, aku bersyukur dan memujiNya sesuai dengan keagungan dan kekuasaanNya
TanpaNya, aku kacau berantakan, seperti puing-puing bangunan, hanya menyampah dan mendebu, tak dapat menaungi, apalagi melindungi, malah bikin mata orang lain sakit, batuk-batuk, bahkan mungkin TBC
Namun bersamaNya, semua jadi serba ajaib dan menakjubkan, barangkali memang aku tak terlihat seperti bangunan megah dan mewah, tapi kemarilah aku tunjukan sebuah kenyamanan yang tak bisa dibeli dengan dunia dan seisinya

#Inspirasi Qur'ani
Ketika pasukan Fir’aun dan balatentaranya hampir menyusul Musa dan pengikutnya, maka para pengikutnya berteriak ketakutan,

“Sesungguhnya kita semua akan disergap.”

Namun Musa tetap tenang, dengan yakin dan penuh tawakkal, dia berucap,

“SESUNGGUHNYA RABB-KU BERSAMAKU, DIA PASTI AKAN MEMBERIKU PETUNJUK.”

Oleh sebab ketenangan, keyakinan dan ketawakkalannya, maka seketika itu juga turunlah wahyu,

“(Wahai Musa) Pukul lah laut itu dengan tongkatmu! Maka laut pun terbelah..” (Asy Syu’ara : 61-63)

“SESUNGGUHNYA RABB-KU BERSAMAKU, DIA PASTI AKAN MEMBERIKU PETUNJUK.”

#Note Jakarta, 11 Agustus 2016

Rabu, 22 Juni 2016

Renungan Tentang Sujud




Kebahagiaan terbaik yang didapati seorang hamba dalam hidup, adalah saat ia banyak bersungkur sujud di hadapan-Nya.
Disitu, ia akan mendapati rasa nikmat menjadi seorang hamba seutuhnya.

Banyak orang mengatakan bahwa sujud adalah posisi dimana seorang hamba menyadari bahwa kepala lebih rendah dari belakangnya, itu bermakna ketawadhuan. Ini betul. Tapi disana ada makna lain, yaitu bahwa sujud adalah posisi dimana hati berada di atas kepala, sehingga hati mudah terkoneksi dengan Yang Maha Kuasa.

Maka pantas saja orang-orang shalih terdahulu begitu banyak menyeringkan sujud, sampai-sampai Imam Ahmad ibn Hambal rahimahullah shalat dalam sehari sebanyak 300 raka'at, itu artinya dalam sehari, beliau bersujud sebanyak 600 kali sujud. Demikian juga dengan Harun Ar Rasyid rahimahullah, beliau kurang lebih dalam sehari shalat sebanyak 100 raka'at, itu artinya dalam sehari beliau bersujud sebanyak 200 kali sujud.
Allahu akbar! Dan masih banyak lagi orang-orang shalih lainnya rahimahumullah yang begitu senang menghiasi hari-harinya dengan memperbanyak sujud.
Tahukah apa rahasianya? Karena sujudlah yang membawa seorang hamba pada sinyal terkuat, yang menjadikannya terus terkoneksi dengan Dia yang di atas.
Subhanallah wal hamdulillah.
Sungguh betapa bahagia hidup mereka.

Hidup kita yang penuh sedih, gundah, derita dan merana ini.
Barangkali disebabkan kurangnya kita bersujud di hadapan-Nya, atau mungkin kita sudah sering bersujud, tapi sayang, sujud kita hanya sekedar gerakan badan, tanpa makna, tidak membekas sama sekali dalam tingkah laku kehidupan kita, dan tidak mempengaruhi apa pun pada hati kita. Kepala kita masih di atas, ingin dihormati, ingin disanjung, ingin dipandang.
Sujudlah, resapi dan nikmati saat-saat dimana hati berada di atas kepala, itulah sebenarnya makna terbesar, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat; di rumah, di kantor, dan dimana pun, kita harus sentiasa bersikap layaknya seperti orang yang sedang bersujud, kita mengutamakan menggunakan hati dalam pergaulan dan sosialiasi terhadap sesama, sebelum kita mendongakkan kepala dan mengikuti apa yang kita prasangkakan dalam pikiran kepala kita.
Jika kita memberi hati, niscaya kita akan mendapati hati pula. 

Semoga Allah subhanahu wa ta'ala mengaruniakan ilmu kepada kita, sehingga kita bisa beribadah dengan sebenar-benarnya ibadah.
Jika pun kita tidak bisa menjadi seperti mereka yang sangat banyak sujudnya, maka setidaknya kita bisa menikmati setiap sujud kita dalam shalat yang 5 waktu.
Allah selalu menyayangi, mencintai, dan mengingat kita. Jika kita ingin tahu?!